Pembelahkan Liar Masih Terus Mengancam Hutan Tropis di Papua dan Papua Barat


Pendahuluan,
Pada tahun 2021, Kaoem Telapak (KT) dan Environmental Investigation Agency (EIA) merilis sebuah laporan investigasi berjudul: Criminal Neglect: Gagalnya Penegakan Hukum Dalam Menghentikan Pembalakan Liar di Indonesia. Investigasi yang dimulai sejak tahun 2017 dengan lokus Papua dan Papua Barat ini dilakukan tidak hanya untuk menguak aktifitas kejahatan di dalam hutan, akan tetapi juga membongkar peran-peran dan factor-faktor pendorong perdagangan kayu illegal terkait. Tindakan-tindakan penegakan beserta proses peradilan yang mengikutinya.

Berdasarkan laporan investigasi tersebut, selama tahun 2001-2019, Indonesia telah kehilangan hampir 27 juta hektar tutupan hutan (lebih luas dari luas Negara Britania Raya). Keadaan ini telah menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi keanekaragam hayati di Indonesia, hak-hak dan kesejahteraan penduduk setempat dan masyarakat adat, serta iklim global.

Kehilangan hutan ini juga memberikan beragam pengaruh pada beberapa provinsi di Indonesia. Sebagai contoh, provinsi Papua dan Papua Barat yang memiliki lebih dari sepertiga dari hutan alam yang tersisa di Indonesia kehilangan 900.000 hektar tutupan hutan selama periode 2001-2019. Selama ini penyebab kehilangan hutan di kedua provinsi tersebut adalah penebangan kayu, baik yang liar maupun berizin, ditambah dengan adanya konversi dari hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit. Tata kelola yang lemah adalah penyebab utama di balik kehilangan hutan ini.

Rangkuman Investigasi

Pada tahun 2005, EIA dan Telapak mempublikasikan laporan berjudul “The Last Frontier: Penebangan Liar di Papua dan Pencurian yang Massif oleh Cina” yang menguak luar biasa besarnya skala pembalakan liar di Papua dan bagaimana kayu dalam volume besar tersebut diangkut ke Cina. Temuan Investigasi dalam laporan tersebut menyoroti bagaimana kayu merbau menjadi target utama para pembalak liar di Papua. Pada puncaknya, 300.000m3 kayu bulat merbau diangkut ke Cina setiap bulan.

Laporan EIA dan Telapak tahun 2010 berjudul Rogue Traders: Bisnis Hitan Penyelundupan Kayu di Indonesia” membahas persoalan mengenai penjualan kayu curian dengan menyoroti tidak efektifnya penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan gelap, termasuk pihak pembiaya, pemimpin perusahaan, dan pejabat yang korup.

Pada tahun 2014, Labora Sitorus masih menjabat sebagai perwira polisi senior sekaligus pemilik PT Rotua. Ditahun yang sama polisi menyita 2.264m3 kayu merbau illegal yang di temukan di 115 kontainer yang dikirim dari Sorong ke Surabaya, Jawa Timur. Kayu-kayu yang diperkirakan mencapai 80 miliar rupiah (836.00 dolar AS) ini terkait dengan sitorus.

Pada tahun 2017, LSM Koalisi Anti Mafia Hutan menguak tuju perusahaan pengolahan kayu di Papua karena telah melanggar SVLK dan peraturan tata usaha kayu (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.43/MENLHK-SETJEN/2015 mengenai Penatausahaan Hasil Hutan Kayu yang Berasal dari Hutan Alam).

Pada bulan Desember 2018, Tempo (majalah berita Indonesia) bersama tiga LSM nasional (Auriga Nusantara, Indonesia Corruption Watch dan Migrant CARE) menginvestigasi kegiatan pembalakan liar di Papua dan Papua Barat. Investigasi ini menyelidiki kegiatan pembalakan liar dan pemalsuan dokumen untuk melegalkan kayu merbau, sehingga kayu ini dapat diangkut ke perusahaan di Surabaya.

Perubahan Modus Operasi

Para pembalak liar karena terus dipantau sehingga mereka mengubah modus operasi dan masih terus dilakukan kegiatan pembalakan liar. Investigasi KT dan EIA di wilayah perbatasan Kabupaten Jayapura dan Sarmi Papua yang merupakan lokasi dijumpainya operasi pembalakan liar kayu merbau yang melibatkan beberapa calo dan banyak perusahaan serta sejumlah pejabat yang korup. Seorang coordinator pembalakan liar yang dikenal dengan nama Yono memegang peran kunci dalam kegiatan illegal ini.

Dari investigasi ini, diketahui bahwa Yono membeli kayu dari Ondoafi (kepala suku atau klan) dari tiga suku di Distrik Bonggo, Kabupaten Sarmi. Yono membeli kayu merbau untuk pesanan beberapa calo. Ia membagikan nama calo-calo tersebut yakni Atyang, Ambang, Budi (Kakak Yono), Lasdi dan Kadir. Tim Investigasi menjumpai enam kamp tebang, tiga diantaranya masih berfungsi. Masing-masing kamp tebang ini diperkirakan mengolah 15-25 m3 kayu gergajian merbau setiap harinya.

Selain menjual kayu gergajian merbau kepada calo, Yono juga bertanggungjawab atas pengiriman kayu merbau ke perusahaan. Beberapa perusahaan yang diungkap Yono adalah PT Harapan Bagot, CV Harapan Indah, PT Rajawali Papua Foresta, dan PT Sijas Express di Distrik Nimbokrang serta PT Viktori Cemerlang Indonesia Wood Industry (CIWI) yang berlokasi di Distrik Unurumguay. Ketika menerima kayu dari Yono, perusahaan mendapatkan dokumen pengangkutan yang dibutuhkan (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan Kayu SKHHK) dan Faktur Angkutan Kayu Olahan/Nota Angkutan. Dokumen-dokumen ini diperlukan untuk mengangkut kayu dari Papua ke Surabaya (Jawa Timur).

Menurut Yono, calo akan menyuap pejabat kehutanan dan polisi agar mengatur waktu yang aman untuk mengangkut kayu gergajian. Besar suap yang diberikan 15-25 juta Rupiah perbulan. Yono bertanggung jawab untuk menyuap pos-pos pemeriksaan dari gudang kayu di hutan hingga perusahaan tujuan.

Inkonsistensi Penegakan Hukum

Dari investigasi yang dilakukan KT dan EIA, muncul sejumlah besar kekhawatiran terkait kurangnya langkah tegas yang diambil untuk menindak sejumlah perusahaan, termasuk:

ü Tidak ada tindakan nyata yang dilakukan terhadap 49 perusahaan penadah kayu dari PT Bahtera Setia walaupun perusahaan tersebut diketahui telah membeli kayu dari berbagai perusahaan yang terjaring dalam tindakan penegakan hukum.

ü Tidak ada tindakan nyata yang dilakukan terhadap 10 perusahaan yang memperdagangkan kayu merbau secara illegal dalam operasi Post Audit pada bulan November 2018.

ü Tidak ada tindakan nyata yang dilakukan terhadap 13 dari 18 perusahaan yang terjaring dalam tindak penegakan hokum di Makasar (Sulawesi Selatan) dan Surabaya (Jawa Timur), dari Desember 2018 hingga Januari 2019; dan

ü Tidak ada tindakan nyata yang dilakukan terhadap 26 perusahaan penadah kayu merbau illegal dari tiga perusahaan yang terjaring dalam tindak penegakan hokum di Makasar dan Surabaya dari Desember 2018 hingga Januari 2019.

Selain minimnya transparasi, KT dan EIA juga menemukan persoalan lain setelah berbagai kasus tersebut sampai di pengadilan. Terdapat kekhawatiran bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada pembalak liar dan pedagang kayu illegal tidak sebanding dengan kejahatannya, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Kasus-kasus ini juga tidak transparan kepada public. Sebagai contoh, putusan pengadilan yang lengkap harus dipublikasikan di setus web pengadilan dalam waktu dua pekan setelah putusan dicapai. Tetapi perincian putusan pengadilan terhadap tiga kasus (Toto Solehudin, direktur CV Mevan Jaya, Sutarmi, direktur CV Rizky Mandiri Timber dan CV Harapan Indah) tidak tersedia untuk public, sehingga tidak diketahui apakah pengadilan telah mengambil tindakan terhadap ketiga perusahaan dan direkturnya tersebut.

Intransparansi putusan pengadilan terus berlanjut ke kasus Henoch Budi Setiawan (Ming Ho), pemilik dan direktur CV Alco Timber Irian dan CV Sorong Timber Irian. Kedua perusahaannya terjaring operasi Ditjen Gakkum pada bulan desember 2018 dan Januari 2019 dengan total kayu merbau yang disita sebanyak 1.679, 73m.

Pada bulan Oktober 2019, Pengadilan Negeri Sorong menjatuhkan hukuman lima tahun penjara dan denda 2,5 miliar Rupiah kepada Ming Ho, Pengadilan Tinggi Jayapura Desember 2019 juga memperkuat putusan dan hukuman tersebut. Tetapi pada bulan Juli 2020, akhirnya terungkap bahwa Mahkamah Agung mengurangi hukuman penjara Ming Ho hingga dua tahun dan memerintahkan kayu illegal sebanyak 1.936m dikembalikan kepadanya.

Persoalan yang ditemukan dalam berbagai proses pengadilan mencakup kurangnya transparansi proses pengadilan, tidak adanya tindak lanjut putusan pengadilan sehingga beberapa perusahaan yang diperintahkan tutup pun masih terus beroperasi, dan inkonsistensi walaupun beberapa perusahaan diputuskan bersalah tetapi tidak menjalani hukumannya.

Semua persoalan ini menimbulkan ketidakpercayaan pada system dan lembaga peradilan tersebut, dan anggapan sebagai lingkungan yang memfasilitasi korupsi, serta mengacaukan perkembangan yang sudah dicapai dalam perjuangan melawan pembalakan liar.

Kesimpulan dan Refleksi

Masih ada lebih dari 50 perusahaan yang jelas-jelas ditemukan memperdagangkan kayu merbau yang didapatkan secara illegal tetapi belum terjangkau penegakan hokum. Public tidak mengases setiap putusan pengadilan. Perusahaan-perusahaan yang telah diperintahkan pengadilan untuk berhenti tetapi masih beroperasi. Mahkamah Agung mengembalikan kayu illegal senilai 1,6 juta Dolar kepada Ming Ho yang notabenenya telah dipidana karena memperdagangkan kayu merbau illegal. Kayu illegal dapat masuk ke dalam rantai pasok legal dengan menggunakan Nota Angkutan yang dipalsukan sebagai dokumen pengangkutan. Dengan dokumen yang palsu ini masih diberikan peluang untuk kayu illegal masuk ke dalam rantai pasok legal.

Dari sekian banyak persaoalan di atas ini menunjukkan bahwa meskipun para pihak berwenang telah melakukan berbagai upaya pencegahan kegiatan pembalakan liar, tetapi masih banyak kecolongan yang memudahkan para pembalak liar terus beroperasi melancarkan kegiatan ilegalnya. Tidak adanya tindakan penegakan hukum yang tegas membuat sangat mengecewakan perjuangan melawan para pembalak liar yang telah dicapai.

Harus ada kerja sama antar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan untuk menghentikan para pembalak liar termasuk pemalsuan dokumen.

Indonesia harus menggunakan segala perangkat yang tersedia dan undang-undang yang sesuai untuk mengusut pembalak liar dan pedagang illegal.

Putusan pengadilan harus dibuka ke publik. Putusan harus dipastikan memiliki efek jera sesuai perbuatannya.

Penulis adalah anggota tetap Paniai Geoheritage Studies Network (pageos.net), di Wilayah Adat Mepago, Papua.

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.