pena paniai. Salah satu alasan bahwa, filsafat sudah harus dipinggirkan adalah bahwa era filsafat sudah tergantikan dengan tekhnologi. Saya sendiri mengatakan bahwa pikiran semacam ini, ibarat dongeng adalah malin kundang. Durhaka kau pada ibumu. Ya mungkin mereka melihat bahwa sudah dewasa, saatnya tidak tergantung lagi pada filsafat. Dulu, memang filsafat merupakan induk pengetahuan (materi scientiarum). Tapi sekarang, ilmu dan tekhnologi sudah bisa otonom.
Hal ini bisa dimaklumi, karena pada masa kegelapan, filsafat dianggap sebagai hamba teologi saja. Pelayan teologi (ancila theologiae). Abad pencerahan meletakkan kembali fungsi filsafat sesuai dengan perannya untuk senantiasa mempertanyakan apa yang dianggap sudah benar. Artinya, untuk menjernihkan. Tapi, ini pun meninggalkan luka manakala filsafat hanya dianggap sebagai ilmu yang ngawang-awang, berada di menara gading dunia akademis. Pada jamannya Plato dulu, berfikir dianggap lebih baik dari pada bekerja. Teori lebih unggul dibanding prakteknya.
Hal itu terulang lagi pada jaman renaissance. Filsafat menjadi mandeg, berbicara tentang hal-hal yang sifatnya abstrak. Tapi, sebagaimana ilmu telah menuju pada sebuah era technoscience, demikian halnya dengan filsafat sekarang ini. Hegel dkk, melihat perlunya sebuah konstektualisasi filsafat berhadapan atau menghadapi majunya dunia sains dan penerapannya dalam tekhnologi.
Seandainya, tekhnologi terlalu sombong untuk berjalan sendirian tanpa filsafat, ia akan menjadi liar. Kita kan sering melihat bahwa segala sesuatunya adalah mungkin dengan tekhnologi. Tekhnologi pantas dan wajib dikembangkan. Dan sebagainya, dan sebagainya. Tekhnologi dan sains seakan menjadi dewa. Benarkah filsafat tidak berperan? Benarkah filsafat harus dimatikan? Atau benarkah memang tekhnologi memang sepenuhnya bebas untuk berkembang sendirian?
Bayangkan dengan adanya tekhnologi pembunuh massal? Pantaskah dikembangkan? Ah ngayal terlalu jauh. Begini saja deh, bagaimana dengan tekhnologi yang berguna untuk mencangkok manusia dengan cloning. Bisakah diteruskan? Mungkin ada yang bilang, tanya saja pada agama. Sebentar, agama kan tidak mengenal dunia cloning?
Lantas apa dong? Satu-satunya yang jelas bisa menjawab adalah filsafat. Pada tataran epistemology, filsafat membahas persoalan-persoalan yang muncul dari sifat tekhnologinya. Pada tataran metafisika, filsafat (khususnya filsafat tekhnologi) membahas tentang apa yang real, apa yang alamiah, apa yang artifisial, apa yang manusiawi dan apa yang tidak manusiawi. Pada bidang etika, filsafat jelas bicara tentang hal-hal moral berkaitan dengan penggunaan tekhnologi yang harus ditempatkan dalam menghargai martabat manusia dan konsekwensi etis penggunaan tekhnologi.
Dalam hal inilah kemudian analisa-analisa filosofis memberikan sumbangan besar untuk agama dalam menjawab tantangan hidup masyarakat. Sederhanya, pernah ada yang mengatakan bahwa tekhnik sipil itu jauh lebih penting dari pada ilmu social. Weitttsss… tunggu dulu. Maksudnya apa neh? Teknik lebih berguna untuk masyarakat. Membantu mereka dalam kehidupan. Dll. Lalu saya bilang, benar, hanya membantu. Tapi terpikirkan tidak sebuah teknik yang manusiawi? Sebuah teknik yang tidak hanya sekedar mekanis. Jangan-jangan, teknik bukan hanya membantu manusia. Tapi mempersulit manusia juga? Jangan-jangan teknik bukannya membuat orang merasa nyaman, teknik justru mengorbankan manusia dan terancam?
Ilmu tentang teknik penting, tapi ilmu tentang cinta juga penting. Hehehee…. Kok nyambungnya ke cinta? Ya namanya juga filsafat. Filsafat itu artinya mencintai kebijaksanaan. Maka, menjadi cerdas perlu. Tapi menjadi bijaksana jauh lebih perlu.
So… kalau filsafat dimatikan… sesungguhnya matilah kemanusiaan kita.